Di balik indahnya alam Aceh, masih ada cerita yang jarang tersentuh media. Di sana, di sudut-sudut pedalaman yang jauh dari kota, anak-anak tumbuh tanpa buku cerita, tanpa akses ke perpustakaan, bahkan kadang tanpa sekolah yang layak. Bukan karena mereka tak ingin belajar, tapi karena jarak, medan, dan ekonomi memaksa mereka menjauh dari dunia literasi.
Bayangkan, untuk sekadar meminjam satu buku, ada anak yang harus berjalan berkilo-kilometer melintasi sungai atau bukit. Di desa seperti itu, membaca bukan kebiasaan — tapi kemewahan. Namun, di tengah keterbatasan itu, muncul sosok perempuan sederhana yang datang membawa perubahan besar: Rahmiana Rahman namanya.
Mengenal Sosok Dibalik Harapan Anak-Anak Pedalaman Aceh: Rahmiana Rahman
Rahmiana Rahman adalah seorang aktivis sosial yang rela menanggalkan jabatan sebagai kepala asrama di sebuah sekolah terpadu berkurikulum internasional di kota Makassar dengan gaji yang lebih dari cukup.
Ami sapaan akrabnya sejak dibangku kuliah bercita-cita ingin menjadi seorang social worker, pekerja sosial yang akrab dengan dunia kerelawanan.
Seakan Tuhan memudahkan jalannya untuk menggapai cita-citanya tersebut, takdir jodoh membawanya ke Aceh dan ia pun bekerja penuh waktu sebagai social worker di Rumah Relawan Remaja (3R), sebuah komunitas yang dibentuk oleh suaminya yang kini sudah berbadan hukum menjadi sebuah yayasan.
Rahmiana Rahman bukan seorang pejabat, bukan juga seorang tokoh besar, tapi semangatnya jauh melampaui batas geografi. Ia percaya bahwa pendidikan dan literasi bukan hak istimewa — tapi hak semua anak Indonesia, termasuk mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil dan pelosok pegunungan.
Dari keyakinan itulah setelah 3R resmi menjadi yayasan, lahirlah program Peace Camp, Peace School, Pustaka Kampung Impian, sebuah gerakan literasi yang hadir di desa-desa terpencil Aceh dan Baling Karang, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang menjadi desa pertama titik fokus untuk program 3R.
Ami dan tim relawannya membawa buku, kegiatan belajar, dan mimpi baru bagi anak-anak yang selama ini hidup di bayang-bayang keterbatasan.
Mengapa Desa Baling Karang Menjadi Prioritas: Akses Terbatas, Minim Infrastruktur, dan Harapan Literasi
Desa Baling Karang berada di ujung wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, Kecamatan Sekerak, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Timur. Akses menuju desa ini lumayan panjang dan menantang, sehingga banyak warga dan anak-anak yang kesulitan memperoleh layanan dasar seperti perpustakaan atau ruang baca.
Berawal dari sebuah komunitas, Rumah Relawan Remaja (3R) yang masih berbentuk perkumpulan, Perdana Romi Saputra atau yang disapa Romi (yang adalah suami Ami) mengadakan kegiatan bakti sosial di desa Baling Karang dengan membawa banyak buku ke desa untuk mengenalkan kepada anak-anak desa tentang buku dan baca tulis.
Setelah program bakti sosial selesai, Romi masih terngiang-ngiang dengan nasib anak-anak di Baling Karang. Karena kondisi infrastrukturnya seperti jalan yang rusak berat, akses internet terbatas, rawan banjir, dan anak-anak yang harus memiliki kemampuan berenang agar bisa ke desa seberang, ditambah dengan masih banyaknya anak-anak desa yang belum mengenal huruf.
Kondisi ini tentu akan mempengaruhi akses literasi anak-anak di Desa Baling Karang, membuat mereka sangat rentan tertinggal.
Karena kondisi infrastruktur pula pendidikan formal, akses buku, ruang baca maupun kegiatan literasi yang terbatas, maka program literasi seperti Rumah Relawan Remaja (3R) dengan programnya Pustaka Kampung Impian melihat peluang di Desa Baling Karang sebagai lokasi strategis untuk “menyentuh” wilayah yang paling membutuhkan.
Dari Tekad dan Cita-Cita Membawa Harapan Bersama Pustaka Kampung Impian
Bagi Ami, Pustaka Kampung Impian bukan sekadar membawa buku — tapi membawa sebuah kehidupan yang baru. Setiap bulan, para relawan akan diberangkatkan ke pelosok-pelosok Aceh.
Setiba para relawan di lokasi, mereka akan membuka ruang belajar sederhana. Anak-anak datang berlarian, berebut memilih buku cerita, mendengarkan dongeng, atau menulis impian mereka di kertas kecil. Tak jarang, para relawan mengajar di teras rumah, di bawah pohon, atau di ruang kecil yang disulap jadi perpustakaan desa. Karena menurut relawan dimanapun tempat belajar, akan membawa harapan baru bagi anak-anak desa tersebut.
Yang membuat program ini menjadi luar biasa adalah karena kehadiran “Guru-Guru Impian” - relawan muda yang rela bepergian ke desa dengan transportasi alakadarnya dan tinggal di desa selama beberapa bulan untuk benar-benar hidup bersama masyarakat. Mereka mengajar, bermain, dan belajar bersama anak-anak. Tidak ada gaji, tidak ada kemewahan - hanya kepuasan sehingga dapat melihat anak-anak itu bisa membaca dengan senyum bangga.
Fokus 3R hanya pada program-program pendidikan dan penguatan literasi ditingkat tapak. Setelah sukses pertama kali di Desa Baling Karang, Pustaka Kampung Impian hadir di Lapeng, Pulo Aceh, Aceh Besar (2015); Kecamatan Ketol, Aceh Tengah (2016); dan Desa Sarah Baru, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan (2018).
Ketika Buku Menyalakan Harapan di Tengah Hutan
Perlahan, hasilnya mulai terasa. Anak-anak yang dulu malu membaca, tidak mengenal huruf dan belum bisa baca tulis kini bahkan sudah berani tampil di depan kelas dengan gagah berani. Orang tua pun mulai ikut serta membaca buku cerita bersama anak-anaknya. Beberapa desa bahkan sudah memiliki ruang pustaka sendiri yang terus dijaga warga setelah tim relawan 3R kembali ke kota.
Bagi Rahmiana, keberhasilan bukan soal angka, tapi perubahan kecil yang lahir dari hati. “Kami tidak datang membawa banyak hal, hanya berharap anak-anak bisa punya cahaya untuk masa depannya,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Mereka memang tidak memasang target muluk-muluk. Di awal-awal program, diajarkan hanya baca-tulis-berhitung atau literasi dasar. Baru setelah itu berlanjut pada tahap meningkatkan minat baca anak-anak di desa. Terakhir, barulah ke tahap berkreativitas yang diharapkan bisa menjadi modal untuk perubahan kelak.
Pola setiap relawan 3R mengajar juga berbeda. Mereka bukan hadir sebagai “si paling tahu”, tetapi sebagai yang sama-sama ingin belajar. Dengan begitu, interaksi bisa berlangsung dua arah. Anak-anak menjadi lebih nyaman dan leluasa dalam belajar. Mereka tak harus bisa semua hal.
Program ini juga perlahan mulai dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Buku bukan lagi benda asing, melainkan jendela menuju dunia yang lebih luas.
Satu Langkah Tulus untuk 1000 Harapan
Kisah Rahmiana Rahman dan Pustaka Kampung Impian telah menginspirasi banyak anak muda untuk ikut berpartisipasi dan bergerak. Mereka datang dari berbagai latar belakang - mahasiswa, guru, aktivis - tapi punya satu tujuan yang sama: menyalakan semangat belajar di pelosok negeri.
Gerakan ini mengingatkan kita bahwa perubahan tidak harus menunggu pemerintah atau lembaga besar. Kadang, satu langkah kecil dengan niat tulus bisa memberi dampak besar. Seperti sosok Rahmiana Rahman, yang memilih jalan sunyi tapi penuh makna: berjalan ke desa-desa terpencil demi menyalakan mimpi anak-anak yang hampir padam.
Siapa yang menyangka, langkah sederhana seorang perempuan Bugis yang merantau ke Aceh membangun keluarga dan menumbuhkan 1000 harapan untuk anak-anak pedalaman bisa sampai sejauh ini. Rahmiana Rahman, mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Award dari Astra di bidang pendidikan pada tahun 2021 lewat program 3R - Pustaka Kampung Impian - sebuah apresiasi bagi insan Indonesia yang bergerak membawa perubahan nyata di tengah masyarakat.
Penghargaan itu bukan sekadar simbol, tapi pengakuan atas kerja keras bertahun-tahun mendirikan dan menghidupkan ruang baca di pelosok desa. Lewat Pustaka Kampung Impian, Rahmiana membuka pintu bagi anak-anak di daerah terpencil untuk mengenal dunia lebih luas melalui buku. Ia tidak hanya membawa bacaan, tapi juga sebuah harapan - bahwa pendidikan adalah hak semua anak, tak peduli sejauh apa mereka tinggal dan jauh dari kota.
Saat berdiri di atas panggung penerimaan penghargaan, Rahmiana tidak banyak bicara. Dengan suara bergetar ia hanya mengatakan,
“Ini bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak di kampung yang tak pernah berhenti bermimpi.”
Kalimat sederhana itu membuat banyak orang terdiam - karena di baliknya tersimpan semangat yang tulus dan perjuangan yang nyata.
Bagi Rahmiana, penghargaan dari Astra bukan akhir dari sebuah perjalanan, tapi pengingat bahwa jalan masih panjang. Masih banyak kampung yang belum tersentuh buku, masih banyak anak yang menunggu pintu mimpi mereka dibuka. Dan Pustaka Kampung Impian akan terus menjadi lentera kecil yang menuntun mereka ke arah cahaya.
Langkah Kecil, Dampak Besar: Jejak Harapan dari Pustaka Kampung Impian yang Tak Pernah Usai
Pustaka Kampung Impian bukan sekadar program dari Rumah Relawan Remaja (3R) - ia adalah bukti nyata bahwa cinta terhadap pendidikan bisa menembus batas. Di tangan Rahmiana Rahman, literasi menjadi gerakan sosial yang hidup dan hangat. Dari satu desa ke desa lain, cahaya itu terus berpindah, membawa harapan bagi anak-anak pedalaman Aceh.
Karena perpustakaan yang menyenangkan adalah perpustakaan yang "hidup". Sumber Instagram @pustakakampungimpian
Karena di setiap buku yang dibuka, ada masa depan yang terbentuk. Dan di setiap langkah Rahmiana dan para relawannya, ada pesan yang tak pernah usang: bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hati yang tulus dan mimpi yang sederhana.
#APA2025-BLOGSPEDIA
Referensi:
Sumber Foto Instagram @pustakakampungimpian
Post a Comment
Post a Comment